Dalam lanskap pendidikan abad ke-21, teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan jantung transformasi. Salah satu tonggak pentingnya adalah kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Di tangan yang visioner, AI bukan ancaman bagi nilai-nilai kemanusiaan, melainkan sarana memperluas inklusivitas dan daya saing, termasuk bagi dunia pesantren — lembaga pendidikan yang selama berabad-abad menjadi benteng moral dan intelektual bangsa.
Di era disrupsi teknologi, dunia bergerak dengan kecepatan data dan algoritma. Namun di tengah derasnya arus digital, pesantren tetap menjadi mercusuar nilai dan moral bangsa. Lembaga ini bukan sekadar ruang belajar agama, tetapi juga lahan subur untuk menumbuhkan kemandirian, daya saing, dan inklusivitas — tiga pilar penting dalam menghadapi abad kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
AI dan Revolusi Inklusivitas Pendidikan
AI hadir membawa janji: pendidikan untuk semua, tanpa batas ruang dan waktu. Dalam konteks pesantren, teknologi ini membuka jalan bagi pendidikan inklusif — yakni pendidikan yang memberi kesempatan belajar yang setara bagi semua santri, termasuk mereka yang memiliki hambatan fisik, geografis, atau sosial.
Bayangkan seorang santri di pelosok Kalimantan yang dapat mengakses pengajian kitab kuning secara interaktif lewat platform berbasis AI. Sistem ini mampu mengenali suara, menerjemahkan istilah klasik ke bahasa modern, bahkan membantu memahami konteks fikih lintas mazhab melalui analisis semantik. Di titik inilah AI menjadi mu’allim kedua — bukan menggantikan guru, tetapi memperluas tangan keilmuan mereka.
AI, Kemandirian Pesantren dan Penerapan AI di Pesantren Indonesia
Kemandirian (self-reliance) adalah salah satu ruh dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Ia tidak hanya bermakna finansial, tetapi juga mencakup kemandirian intelektual, teknologi, dan inovasi. AI bisa menjadi instrumen penting dalam memperkuat tiga dimensi ini.
1. Kemandirian Intelektual.
Melalui AI, pesantren dapat mengembangkan digital library kitab kuning dan karya ulama Nusantara yang bisa diakses secara daring. Santri tak lagi tergantung pada sumber eksternal, tetapi mampu membangun ekosistem keilmuan yang berakar dari khazanah sendiri. Dengan analisis teks berbasis AI, pesantren dapat meneliti ulang karya ulama klasik, menelusuri sanad keilmuan, bahkan menghasilkan tafsir digital kontekstual — bukti bahwa tradisi dan teknologi bisa bersinergi tanpa kehilangan ruh.
2. Kemandirian Teknologi.
Beberapa pesantren seperti Modern Islamic Boarding School (MIBS) Malang telah melatih santri membuat aplikasi berbasis AI sederhana untuk dakwah digital dan pengelolaan wakaf produktif. Santri bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga pencipta (creator). Langkah ini menumbuhkan entrepreneurial mindset yang sejalan dengan visi “pesantren mandiri” — mampu berdiri di atas kaki sendiri secara ekonomi melalui inovasi digital.
3. Kemandirian Ekonomi dan Sosial.
AI dapat mendukung unit-unit usaha pesantren, seperti koperasi, pertanian, atau e-commerce berbasis santri. Sistem prediksi cuaca berbasis AI dapat membantu pesantren agraris meningkatkan hasil panen, sedangkan analitik penjualan digital membantu pengembangan produk lokal santri ke pasar nasional.
Kemandirian ekonomi berbasis AI bukan sekadar tentang pendapatan, melainkan tentang kedaulatan: pesantren memanfaatkan teknologi untuk memperkuat keberlanjutan lembaga, bukan sekadar bergantung pada donatur eksternal.
Beberapa pesantren di Indonesia mulai melangkah ke arah ini.
Pesantren Darul Ulum, Jombang, misalnya, telah mengembangkan smart classroom berbasis AI untuk membantu santri memahami kitab turats. Melalui aplikasi Voice-to-Text Arabic Recognition, para santri dapat membaca kitab klasik dan langsung mendapatkan terjemahan kontekstual serta penjelasan gramatikal.
Sementara Pesantren Nurul Jadid, Paiton, bekerja sama dengan startup teknologi edukasi dalam pengembangan sistem personalized learning — di mana AI menganalisis kemampuan tiap santri dan merekomendasikan materi belajar sesuai potensi dan minat mereka. Pendekatan ini memperkuat semangat tafaqquh fi al-din sekaligus menumbuhkan kompetensi abad digital.
Di tingkat nasional, Kementerian Agama mulai mendorong digitalisasi pesantren melalui program Pesantren Go Digital, yang di beberapa wilayah telah memanfaatkan chatbot berbasis AI untuk menjawab pertanyaan fikih dasar dan membantu administrasi santri. Langkah ini menunjukkan arah baru: kolaborasi antara nilai spiritual dan inovasi teknologi.
Teladan dari Dunia Muslim serta Menjaga Nilai di Tengah Inovasi
Di luar negeri, sejumlah negara Muslim juga telah menorehkan jejak serupa. Di Uni Emirat Arab, misalnya, pemerintah meluncurkan AI Tutor Project yang memungkinkan pelajar madrasah belajar dengan asisten virtual yang memahami Al-Qur’an, tafsir, dan bahasa Arab klasik. Sistem ini bahkan mampu menyesuaikan gaya pengajaran sesuai karakter siswa.
Di Arab Saudi, Universitas Islam Madinah mengembangkan sistem AI-based Hadith Analysis untuk membantu mahasiswa menelusuri sanad dan matan hadis dengan algoritma pencocokan teks. Teknologi ini tidak hanya mempercepat riset, tetapi juga menjaga otentisitas keilmuan Islam.
Sementara di Malaysia, beberapa pesantren modern seperti Maahad Tahfiz Negeri Selangor telah menggunakan AI untuk memantau kemajuan hafalan Al-Qur’an santri melalui analisis suara dan intonasi bacaan, memberikan umpan balik otomatis dengan presisi tinggi.
Namun, dalam semarak inovasi ini, pesantren tetap memiliki misi luhur: menjaga adab di tengah percepatan teknologi. AI boleh cerdas, tetapi tidak punya nurani. Di sinilah peran kiai, ustaz, dan santri menjadi penting — memastikan teknologi tetap dalam koridor etika Islam.
AI harus diletakkan sebagai khadim al-‘ilm (pelayan ilmu), bukan sayyid al-insan (tuan atas manusia). Sebab, tujuan pendidikan Islam bukan sekadar mencetak insan cerdas, tetapi juga insan yang berakhlak karimah.
Menatap Masa Depan: Pesantren Berdaya Saing Global
Pesantren yang inklusif dan adaptif terhadap AI sejatinya sedang menyiapkan generasi santri global: fasih membaca kitab kuning dan fasih pula membaca data; kuat dalam tauhid dan tangguh dalam teknologi. Mereka bukan hanya penerus tradisi keilmuan klasik, tetapi juga pelaku aktif dalam ekonomi digital, riset keislaman modern, hingga diplomasi kebudayaan lintas bangsa.
Jika pesantren mampu menjadikan AI sebagai mitra belajar, maka masa depan pendidikan Islam tidak hanya akan inklusif, tetapi juga berdaya saing — meneguhkan pesan Nabi ﷺ: “Al-hikmatu dhollatul mu’min, fa aina wajadaha fahuwa ahaqqu biha.”
(Kebijaksanaan adalah barang hilang milik orang beriman; di mana pun ia menemukannya, ia berhak atasnya.)
Pemanfaatan kecerdasan buatan di pesantren bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal visi peradaban. Pesantren yang terbuka terhadap inovasi tanpa kehilangan jati diri akan menjadi laboratorium masa depan: tempat di mana tafaqquh fial-din bertemu tafaqquh fial-‘ilmal-hadits. Dan di situlah lahir generasi santri baru — cerdas, beradab, dan siap menyalakan lentera Islam di tengah arus zaman digital.
Pemanfaatan AI di pesantren bukanlah bentuk westernisasi teknologi, melainkan islamisasi inovasi — menempatkan teknologi dalam bingkai nilai, kemandirian, dan keberkahan. Pesantren yang inklusif, berdaya saing, dan mandiri melalui AI akan menjadi contoh nyata bahwa Islam tidak anti kemajuan, tetapi justru menjadi kompas moral bagi arah kemajuan itu sendiri.
Masa depan pesantren adalah masa depan peradaban: berakar di bumi, berfikir ke langit
Selamat Hari Santri 2025.







